Saat ini banyak Pemerintah daerah tengah berlomba-lomba membangun suatu bentuk electronic government dengan anggapan elektronisasi pelayanan bisa meningkatkan “kebolehan” pemerintah dalam melayani masyarakat. dan menjadi “gengsi” tersendiri bagi pemimpin bila bisa membangun e-gov dan berkomentar mengenai e-gov di berbagai forum.
Demikian halnya seperti yang terjadi di beberapa Pemda termasuk Pemkab Cilacap, tidak terhitung berapa besar anggaran yang telah dikucurkan untuk proyek egovernment, yang notabene kemanfaatannya masih belum sampai ke masyarakat. Kita tentu pantas bertanya-tanya seperti apa gerangan “mainan egov” yang akan dibuat oleh Pemda tersebut? Ironis memang, bahwa kue e-gov yang demikian mahal menjadi perebutan sehingga para pejabat dan rekanan/ kontraktor lupa bahwa dana itu adalah “uang rakyat” yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
Penerapan otonomi daerah memang membuat suatu eforia bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah masing-masing, tetapi setelah penerapan otonomi daerah berjalan beberapa tahun hal tersebut lebih banyak diartikan sebagai eforia belanja daerah sesuai selera pemimpin daerah. Dengan demikian sangat bijaksana bila pemerintah daerah mulai berpikir bahwa menerapkan e-gov tanpa visi teknologi informasi dan tujuan yang jelas merupakan pemborosan, setidaknya pembangunan e-gov bagi Pemda tidak perlu terburu-buru dan harus sekali jadi. Perlu dilakukan studi kelayakan yang hati-hati agar infrastruktur informasi yang telah dibeli tidak menjadi alat yang tidak bermanfaat, obsolete sebelum dipakai, karena bila tidak, pembangunan sistem secara sporadis tersebut pada akhirnya juga akan menyusahkan semua pihak di masa depan.
Memang perlu diberikan kesadaran yang lebih baik kepada Pemda bahwa e-gov bukan sekadar membangun sistem komputer yang dilengkapi dengan web-site, email maupun transaksi yang terhubung online dengan internet, tetapi e-gov lebih besar dari hal itu, kultur transparansi yang belum dimiliki aparat pemerintah merupakan semangat dasar e-gov. Pelayanan kepada masyarakat yang berkesinambungan, dan ke-demokrasian pelayanan juga merupakan faktor yang perlu dibangun, dan untuk saat ini rasanya Pemda belum mempunyai konsep untuk penerapan sistem e-gov dengan cara demikian. Artinya belum ada satu aparat-pun yang telah siap untuk melayani masyarakat tanpa pamrih. Hal yang sederhana, apakah Pemda siap menjalankan pelayanan perijinan secara berkesinambungan, artinya 24 jam sehari, 7 hari dalam satu minggu, 360 hari dalam satu tahun?
Belum lagi masalah yang sangat krusial di Indonesia, biaya perijinan, waktu penyelesaian dan tentunya biaya siluman yang dikutip sana-sini akan mementahkan konsep e-gov dan membuat belanja infrastruktur e-gov menjadi mubazir. Ketidakberhasilan pembangunan sistem tersebut tentu bukan kesalahan Pemda semata, peran konsultan pengembang yang memberikan atau lebih tepatnya “menjual mimpi” kepada Pemda tanpa memberikan pengertian bagaimana membangun sistem yang tepat guna. Dapat dipastikan tanpa suatu konsep yang jelas pembangunan e-gov hanyalah eforia yang akan menjadi “mainan baru” yang memakan biaya tidak sedikit bagi Pemda yang pada akhirnya akan membosankan pemimpin daerah karena tingkat keberhasilannya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Karena dari sekian banyak pemerintah daerah yang membangun e-gov belum ada yang betul-betul berhasil menerapkan e-gov secara integral, artinya penerapannya betul-betul mengkuti kaidah rekayasa informatika bagi pembangunan sistem, mempunyai standard prosedur operasional yang baik dan cocok bagi pemerintah daerah setempat.
Tulisan ini dimaksudkan tidak hanya mengungkap sisi buruk dari pembangunan e-gov yang terburu-buru, boros dan tidak tepat sasaran, tetapi diharapkan menjadi salah satu fungsi kontrol masyarakat terhadap eforia pembangunan e-gov. Menurut hemat penulis, untuk membangun sistem e-gov khususnya di Pemda, diperlukan beberapa aspek yang harus diperhatikan sebagai berikut :
Pertama
Regulasi mengenai peraturan terkait dengan pelayanan masyarakat perlu dijadikan aspek utama, seperti aturan investasi di wilayah oleh investor/ pengusaha misalnya, jangan sampai masyarakat dibingungkan oleh peraturan yang selalu berubah-ubah, regulasi ini sangat penting sebagai dasar pembangunan sistem e-gov. Tanpa itu, proses pembangunan e-gov akan bongkar-pasang.
Kedua
Visi pembangunan e-gov yang dijabarkan sederhana dan disesuaikan dengan visi dan misi Pemda , tanpa kesesuaian visi, tentunya akan terjadi kendala operasional, hal ini sering terjadi bila konsultan pengembang e-gov melakukan kloning sistem dari satu daerah ke daerah lain tanpa memperhatikan kepentingan operasional daerah bersangkutan.
Ketiga
Adalah identifikasi bidang apa saja yang akan dikelola melalui e-gov, sebagai contoh untuk Pemda, tentunya tidak perlu terburu-buru membangun SIMTAP dengan lima puluh sekian perijinan, dapat dilakukan bertahap sesuai kebutuhan, sehingga biaya yang dikeluarkanpun dihemat. Demikian pula untuk bidang lainnya, dapat diidentifikasi secara hati-hati dan seksama sehingga menghasilkan suatu sistem yang “berkualitas” – tepat sasaran, hasil identifikasi tersebut nantinya akan menjadi cetak biru bagi pembangunan seluruh sistem informasi yang ada di Pemda.
Keempat
Lakukan identifikasi parameter keberhasilan Pemda dalam menjalankan roda pemerintahannya, artinya sistem yang dibangun dalam rangka e-gov harus dapat memberikan informasi dan parameter tingkat keberhasilan Pemda, tanpa adanya informasi maka sistem yang dibangun hanyalah sistem komputer pengganti mesin ketik dan kalkulator.
Bagi masyarakat ukuran sukses pembangunan e-Gov adalah bila pelayanan menjadi lebih murah, lebih mudah, lebih cepat, tersedia dan transparan, bila pelayanan tidak menjadi lebih baik seperti demikian, maka pembangunan sistem e-gov hanya buang waktu dan biaya saja, masih sebatas eforia.***
Ditulis oleh BE. Nugroho Santoso
—————————–
Penulis adalah Orang Cilacap Biasa