Mengutip pernyataan Sekda Cilacap, Drs Soeprihono SH ST MM saat didampingi Kepala Bappeda Drs H Adjar Mugiono MM, beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Dana belanja bantuan keuangan yang diberikan ke pemerintah desa dan kelurahan tahun 2008 belum termasuk dana infrastruktur pedesaan dan jadi sudah selayaknya desa dan kelurahan mendukung program pembangunan jaringan informasi sistem manajemen pemerintahan desa (Simpemdes).
Sebab, dana yang harus disisihkan desa dan kelurahan untuk membiayai program tersebut hanya Rp 48 juta. Penyisihan dana itu tak akan mengganggu program pembangunan infrastruktur yang ditetapkan melalui Musrenbangdes. Sebab, anggaran untuk pembangunan infrastruktur pedesaan sudah dialokasikan tersendiri dan setiap desa mendapat Rp 75 juta.
‘’Saya minta kepala desa dan lurah memahami. Kalau perlu, masyarakat yang masih mempermasalahkan program Simpemdes diberi penjelasan biar paham,’’ tandasnya. (Suaramerdeka, Rabu, 27 feb 2008). Hal tersebut menyiratkan bahwa pemerintah desa tidak perlu khawatir bahwa pembiayaan program jaringan SIMPEMDES akan memangkas dan mengurangi pembangunan prasarana fisik desa. Jelas menunjukan niat yang serius dan sedikit ‘’dipaksakan’’ (dalam tanda kutip) dari Pemerintah Daerah agar program tersebut bisa diterima dan dipahami oleh masyarkat desa.
Justru yang menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan IT di Cilacap bukan seberapa besar alokasi anggaran yang akan dikeluarkan untuk program tersebut, karena setiap kebijakan penyusunan anggaran nantinya akan dipertanggungjawabkan baik secara material maupun moril, tetapi sejauh mana program ini akan efisien dan bukan semata-mata hanya menyediakan perangkat keras dan lunak komputer serta internet. Karena sejauh ini, projek e-Gov tahun 2005 dan 2006 masih meninggalkan berbagai masalah dan ketika dikonfirmasikan selalu yang menjadi pokok intinya pada kemampuan SDM yang belum memadai. Bayangkan jika di tingkat yang lebih atas saja kendala SDM menjadi ‘’kambing hitam’’ apalagi tingkat desa.
Beberapa point permasalahan yang seharusnya siap dihadapi oleh pemerintah daerah, seperti yang dirangkumkan dalam pernyataan sikap HIMACITA (Himpunan Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta) berikut : (sumber: www.paryo.multiply.com)
Program Sistem Informasi di tiap kantor kecamatan tidak berjalan dengan efektif, sebab terkendala dengan kurangnya tenaga ahli yang memadai, sistem koneksi tidak berjalan dengan baik, pemeliharaan yang buruk, dan tingginya tingkat error.
Perlu adanya pengembangan penerapan teknologi informasi di kecamatan sebagai dukungan pelayanan publik yang dapat dimonitor dan dievaluasi.
Belum ada bukti yang memadai dampak aplikasi teknologi informasi di kantor-kantor kecamatan dapat meningkatkan pelayanan publik. Bahkan kadangkala menjadi hambatan teknis baru.
Dukungan perangkat informasi semestinya dilakukan secara komperehensif, tidak sebatas pengadaan alat semata.
MEMBANGUN SISTEM JARINGAN INTERNET DESA
Membangun sistem jaringan internet desa melalui dana ALOKASI ANGGARAN DESA (ADD) (sebesar 48% dari total 100 juta dana ADD tiap desa, sumber: www.paryo.multiply.com ) di kabupaten Cilacap merupakan program Pemerintah Daerah yang dinilai sangat berani disaat krisis melanda negeri ini. Apalagi alokasi dana tersebut hanya digunakan sebagai alokasi pengadaan perangkat keras tanpa dibarengi dengan pelatihan SDM, Karena membangun sistem informasi pemerintahan desa (SIMPEDES) membutuhkan perencaan yang matang, tidaklah dalam waktu singkat dan sesaat.
Keberadaan jaringan internet yang mendasari SIMPEMDES diharapkan bisa memberikan informasi yang akurat, cepat, up to date mengenai Tata Pemerintahan Desa, Potensi Positif Desa( yang meliputi potensi wilayah, alam, sosial, budaya, potensi wirausaha, dsb) maupun Potensi Negatif Desa (potensi bencana).
Hanya saja yang masih perlu dikaji ulang apakah data-data tersebut memiliki tingkat mobilitas perubahan data yang cepat sehingga perlu selalu dilakukan up to date secara langsung dari Desa?. Bagaimanapun juga jika pergerakan perubahan data yang lambat, tentunya proses update pun menjadi lama( apalagi proses update dalam periode tahun), sehingga keberadaan internet akan kurang maksimal.
Disamping itu pula, tentunya dengan adanya SIMPEMDES yang dibangun secara online menuntut perbuahan pola prilaku petugas tingkat desa untuk selalu menyusun dan mendata tentang informasi yang berkaitan dengan wilayah desa wewenangnya. Sementara itu, jika kita melihat selama ini data-data yang disajikan dalam bentuk manualpun yang disusun tahunan pun masih sekedar “copy-paste”tahun sebelumnya.
Selain sisi input data, permasalahan lain yang timbul selanjutnya adalah proses pengolahan data. Di dunia IT kita mengenal istilah “TRASH IN, TRASH OUT” yang artinya jika kita memasukan sampah maka output yang dihasilkanpun juga Sampah. Tentunya membutuhkan tenaga yang handal dan memahami dan mampu me-maintenance internet, jika tidak maka akan semakin banyak masalah yang timbul dan akan menyebabkan biaya perawatan yang jauh lebih besar dari biaya pengadaan barang itu sendiri. Kalau sudah begini maka desa akan mendapatkan beban yang lebih besar.
KENAPA TAKUT MENGATAKAN “TIDAK”?
Pemaksaan sebuah teknologi sementara masyarakat desa belum siap menghadapinya ibarat kita membeli pesawat terbang tapi tidak ada orang yang bisa mengendarainya, maka pesawat tersebut hanya teronggok di gudang, menunggu karat menyerang dan akhirnya rusak tidak bisa dipakai. Memang kelihat baik saat pertama membeli, semua orang akan berkerumum mengaguminya, tapi setelah itu tinggal kesia-siaan belaka.Bagaimanapun jika memang harus dipaksakan demi sebuah kepentingan “musang”, maka alangkah baiknya jika disimulasikan untuk wilayah yang lebih luas (misalkan tingkat kecamatan) , sehingga pihak pemerintah daerah bisa mengevalusi apakah memberikan dampak postif bagi wilayah Cilacap, dan sekaligus mempersiapkan SDM. Jangan sampai SDM menjadi “kambing hitam” bagi para musang. Hal ini bukan masalah ketersediaan anggaran, tapi lebih kepada efisien dan efektifitas anggaran.
Ditulis oleh Wahjono
Penulis adalah Rakyat biasa pemerhati TI