Cerita rusaknya hutan mengrove di kawasan Segara Anakan, Cilacap tidak pernah sepi. Tulisan ini mencoba merefleksikan kerusakan hutan mangrove di Segara Anakan yang kian memprihatinkan. Dari hari ke hari kondisi hutan mangrove di sepanjang laguna Segara Anakan tak terbendung. Berbagai kerusakan mangrove begitu tampak kasat apabila kita sedang menelusuri hutan mangrove di sepanjang perjalanan Cilacap-Kampunglaut. Padahal, mangrove yang terdapat di Segara Anakan merupakan kekayaan alam yang harus dijaga karena merupakan satu-satunya mangrove yang masih eksis di dunia.
Tahun 1960-an, keadaan Laguna Segara Anakan begitu menawan dengan lebatnya mangrove dan melimpahnya hasil tangkapan laut para nelayan yang hidup di sekitarnya. Keindahan tersebut juga menjadi areal mata pencaharian masyarakat Kampunglaut yang terdiri dari empat desa, Desa Ujungalang, Ujung Gagak, Klaces dan Panikel.
Namun, waktu terus berlalu, kawasan laguna lambat laun tak seindah seperti dahulu. campur tangan dan eksploitasi hutan mangrove serta adanya pengendapan lumpur di kawasan laguna menjadi permasalahan baru.
Penyempitan kawasan sedikit demi sedikit merubah dari yang indah dan penuh dengan tangkapan ikan menjadi lahan gundul yang tak bermakna. Berbagai eksploitasi laut dan hutan pun terus terjadi.
Pada tahun 1994, hutan mangrove di Segara Anakan beralih fungsi sebagai tambak udang oleh para investor dan masyarakat setempat. Puluhan, bahkan ratusan hektare hutan mangrove dibabat habis. Akibatnya, tidak ada lagi tempat berlindung bagi para habitat laut seperti ikan, udang, kepiting dan hewan laut lainnya. Hal itu menjadi permasalahan yang bertambah pelik. Akibat rusaknya mangrove, para nelayan mulai kesulitan mendapatkan hasil tangkapannya. Sementara selama ini mata pencaharian masyarakat di sekitar Segara Anakan ialah sebagai nelayan tradisional.
Kerusakan hutan mangrove mengundang banyak simpati. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup era Gusdur dan Megawati Sukarnoputeri turun tangan bersama Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) berupaya menanggulangi penyempitan laguna Segara Anakan. Berbagai upaya pun dilakukan, salah satunya dengan cara pengerukan lumpur yang mengendap. Namun, upaya tersebut tidak menjadi solusi yang efektif. Justru menjadi kontroversi dan polemik yang terus bergulir. Upaya pengerukan dan penyodetan Sungai Citandui tidak mendapatkan izin dari Pemkab Ciamis, Jawa Barat.
Tidak hanya itu, upaya penyelamatan Segara Anakan tidak berdampak secara langsung bagi ribuan masyarakat yang tinggal di kawasan Segara Anakan (Desa Ujungalang, Ujung Gagak, Panikel dan Klaces). Hal ini bisa dilihat betapa proyek penanggulangan Segara Anaan hanya dinikmati segelintir orang.
PLH, Solusi?
Keberadaan hutan mengrove memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Di samping sebagai benteng dari abrasi pantai dan pesisir, mangrove juga menjadi tempat pemijahan ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Dengan kerusakan mangrove, para nelayan di kawasan Segara Anakan terancam kelangsungan hidupnya.
Berangkat dari itulah pendidikan lingkungan hidup (PLH) tengah digalakkan di kawasan Segara Anakan. Tujuannya, ialah memberikan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya keberadaan mangrove bagi kehidupan manusia. PLH dilakukan sebagai pendidikan yang menunjang komunikasi partisipatif, dimana masyarakat (khususnya anak-anak muda) diikutsertakan dalam pengelolaan mangrove. Diharapkan denga adanya PLH kerusakan mangrove lebih diminimalisir.
Memang, PLH bukanlah satu-satunya solusi atas kerusakan mangrove yang kian memprihatinkan. Tetapi, paling tidak mesyarakat akan membuka diri dengan peduli terhadap lingkungan sekitar. Dapat membaca masa depan anak cucunya di masa mendatang.
Partisipasi Masyarakat
Upaya regenerasi pengelolaan kawasan Segara Anakan dapat dilakukan melalui PLH. Pada dasarnya, PLH adalah media pembelajaran yang bersifat persuasif (mengajak) dan berjangka pendek. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Cilacap sangat penting dalam penyelamatan kawasan Segara Anakan. Tanpa kesadaran masyarakat dan generasi muda, pengelolaan kawasan Segara Anakan hanya akan mendatangkan permasalahan yang lebih serius lagi, yakni nasib para nelayan di kawasan itu.
Sebagai penutup, pembahasan mengenai kerusakan hutan mangrove di Segara Anakan sangatlah panjang dan berliku. Berbagai dampak, mulai sosial, ekonomi dan budaya begitu kompleks. Namun, tentu saja ada secercah harapan di masa mendatang Segara Anakan menjadi lebih baik dan masyaraktnya lebih peduli terhadap kelestarian mangrove yang di dalamnya memiliki peran penting bagi kehidupan berkelanjutan. Kita berharap, sekecil apapun pendidikan lingkungan hidup dapat menjadi motivasi masyarakat dan generasi muda untuk peduli terhadap eksistensi mangrove di Segara Anakan.
Ditulis oleh Rasno Ahmad Shobirin
———————————————————————————————————————–
Penulis, Pengajar PLH di Ujungalang, saat ini tengah studi Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta