Dilihat dari sudut pandang pengembangan obyek wisata. Segara Anakan dengan Kampung Lautnya ditambah dengan sebagian wilayah Pulau Nusakambangan yang berhadapan kawasan Segara Anakan, sebetulnya memiliki aset-aset wisata yang cukup potensial. Untuk menjadikan kawasan ini memiliki ‘’nilai jual’’ tinggi memerlukan pemikiran dan penanganan serta manajemen yang profesional yang ‘’tidak hanya berorientasi pada keuntungan finasial semata-semata’’, tetapi wawasan yang berkait dengan kiat menjaga kelestarian lingkungan fisik, sosial dan budaya masyarakat setempat tampaknya merupakan bagian yang tidak boleh diabadikan.
Paling tidak ada dua aset yang dimiliki Segara Anakan / Kampung Laut dan sekitarnya yang dapat dikemas dan dikembangkan untuk kepariwisataan. Pertama, aset yang berkait dengan kondisi alam dan kedua yang berkait dengan budaya masyarakat setempat.
Wisata Alam
Segara Anakan adalah sebuah laguna yang terlindungi oleh Pulau Nusakambangan dari ganasnya gelombang laut Samudera Hindia, sehingga keadaan perairannya relatif tenang, nyaman untuk dilayari. Sebagai laguna yang punya hubungan dengan Samudera Hindia, kawasan Segara Anakan sangat memungkinkan untuk disinggahi ikan-ikan dari Samudera tersebut. Mereka masuk ke Segara Anakan, terutama pada waktu air pasang, untuk mencari makanan, karena di kawasan ini tumbuh hutan-hutan Mangrove yang memungkinkan berkembangnya berbagai jenis plankton. Plankton dan unsur hara yang dihasilkan oleh hutan Mangrove, adalah makanan bagi ikan-ikan kecil. Ikan-ikan kecil adalah makanan ikan-ikan yang lebih besar, hal yang demikian ini yang membuat kawasan Segara Anakan menjadi ‘’rumah singgah’’ bagi jenis-jenis ikan pengembara (migratong species) yang berasal dari berbagai lautan.
Kecuali itu, hutan mangrove juga merupakan tempat tinggal dan tempat pemisahan ikan-ikan lokal, termasuk juga berbagai jenis udang dan kepiting. Kesemuanya itu mengindikasikan bahwa Segara Anakan merupakan tempat yang kaya akan berbagai jenis ikan disamping juga udang dan kepiting.
Dari berbagai potensi yang dimiliki oleh Segara Anakan dan Kampung Lautnya, di wilayah ini dapat dikembangkan berbagai wisata seperti wisata panorama alam, wisata pemancingan dan wisata ilmu pengetahuan. Disamping itu dapat juga dikembangkan wisata sosial dengan berkunjung ke pemukiman-pemukian penduduk Kampung Laut.
a. Wisata Panorama Alam
Segara Anakan adalah sebuah laguna yang relative tenang perairannya. Wisatawan yang tertarik pada panorama alam, dengan menggunakan perahu mereka dapat diajak menyusuri kanal-kanal hutan Mangrove. Hutan Mangrove adalah habitat satwa-satwa liar seperti monyet, burung, linsang dan lain-lain. Dengan demikian, kecuali menyaksikan berbagai jenis vegetasi yang ada di hutan Mangrove para wisatawan juga dapat bertemu dengan satwa-satwa liar tesebut.
b. Wisata Pemancingan
Potensi Segara Anakan merupakan ‘’rumah singgah’’ ikan-ikan pengembara yang berasal dari berbagai lautan dan juga merupakan habitat ikan-ikan lokal. Hal ini cocok untuk dikembangkan sebagi daerah wisata pemancingan. Walaupun di daerah Kampung Laut kawasan perairan telah dikapling-kapling oleh keluarga-keluarga nelayan sebagai lahan pengakapan ikan milik pribadi, namun secara umum Segara Anakan masih terbuka bagi kegiatan pemancingan umum. Di sini wisatawan dapat melontarkan jangkar perahunya, kemudian memancing ikan dalam suasana yang santai dan alami.
c. Wisata Ilmu Pengetahuan
Bagi wisatawan yang tertarik untuk melakukan pengamatan dan penelitian terhadap berbagai jenis flora dan fauna air, kawasan Segara Anakan dapat dikatakan sebagai obyek wisata ilmu pengetahuan. Sifat perairannya yang tenang memungkinkan wisatawan ilmu pengetahuan untuk dapat mengoptimalkan dan mengamati dan dapat melakukan kajian obyek flora dna fauna yang ada.
d. Wisata Kunjungan Pemukiman Penduduk.
Pemukiman penduduk Kampung Laut sekarang tidak berupa rumah panggung-rumah panggung di atas permukaan laut. Rumah-rumah mereka sekarang telah banyak yang mengikuti corak modern dnegan dinding dan lantai keramik. Walaupun ujud fisik bangunannya telah modern, tetapi tata letak bangunan rumah dalam perkampungan masih banyak yang mengikuti pola lama yaitu pola berderet dengan jalan-jalan darat didepannya dan jalan parit (prasarana tranportasi air) dibelakang rumah. Dengan sedikit modifikasi khususnya yang berkait dengan kerapian dan kebersihan, bukan tak mungkin parit-parit ini dapat dikembangkan menjadi wisata air seperti di Venesia (Italia), dimana wisatawan dapat bercengkerama dengan perahu gondola.
Pengembangan wisata alam Segara Anakan dan Kampung Laut, tampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Kendala utama yang dampaknya amat luas bagi ekosistem Segara Anakan adalah makin dangkalnya perairan kawasan ini. Akibat dari pemanfaatan tanah di dataran tinggi Cilacap Barat yang tidka memperdulikan kelestarian lingkungan maka tingkat erosi di kawasan ini amat tinggi khususnya pada waktu musim penghujan sungai-sungai di daerah itu yang umumnya bermuara di Segara Anakan adalah penyebab utama yang membuat dangkalnya perairan Segara Anakan. Akibat dari dangkalnya perairan, maka populasi ikan dna jenis-jenis tangkapan laut yang lain makin menurun dari waktu ke waktu sedimentasi juga membuat dangkalnya perairan plawangan barat (yang berada di sebelah barat pulau Nusakambangan ) akibatnya ikan-ikan pengembara dari Samudera Hindia terutama yang ukurannya besar tidak dapat atau tidak mau lagi singgah di Segara Anakan.
Sementara itu, hutan-hutan Mangrove yang mestinya menjadi tempat pemijahan dan sumber makanan bagi ikan, udang dan lain-lain sejenisnya, akhir-akhir ini mengalami strees lingkungan yang amat tinggi. Penyebab strees yang menyebabkan rusaknya ekosistem hutan Mangarove ini, antara lain adalah akibat penebangan pohon-pohon bakau dan sejenisnya yang tidak terkontrol, untuk mendapatkan lahan yang akan digunakan untuk pembuatan tambak udang maupun kepiting. Yang amat menyedihkan, karena sebetulnya Segara Anakan memang tidak cocok untuk tambak, maka usaha-usaha tambak udang itu mengalami kegagalan. Setelah tambak-tambak itu ditinggalkan maka daerah itu menjadi daerah terbuka. Karena jumlah dan lamanya pasang surut terganggu akibat adanya pendangkalan, maka jenis-jenis pohon di hutan mangrove kalah cepat pertumbuhannya dengan jenis tumbuhan perdu seperti jerujon (Acanthus Ilicifolius atau Acanthus Sp), gadelan (Derris Heterophylla) dan lain-lain.
Memang dulu ada usaha dari SACDP untuk memperbaiki hutan Mangrove dengan menanam bibit tancang (Bruguiera Sp), tetapi tampaknya usaha ini belum berhasil. Penyebab kerusakan hutan Mangrove yang lain adalah adanya penebangan liar yang sampai saat ini terus berlanjut. Penebangan ini dilakukan untuk mereka yang mempunyai usaha sebagai penjual kayu bakar atau pembuat arang.
Sementara itu, penangkapan ikan di kawasan ini juga banyak menggunakan alat atau cara mengarah pada kelestarian lingkungan. Di kapling lahan laut miliknya, nelayan memasang jaring apong atau semacam pukat harimau yang dapat menangkap tangkapan laut segala ukuran. Dari yang besar sampai yang kecil (sebesar lidi kecil) pun dapat ditangkap oleh jaring ini. Padahal hasil tangkapan yang kecil-kecil seperti itu hanya dibuang. Yang diambil hanya yang besar-besar saja, akibatnya potensi tangkapan laut menyusut drastis. Pemerintah telah melakukan pelarangan menggunakan jaring ini, tetapi tampaknya masyarakat nelayan tetap menggunakannya.
Permasalahan-permasalahan di atas, perlu mendapat pemikiran yang serius untuk pemecahannya. Kalau tidak maka wisata alam sebagaimana terpapar di atas tidak dapat dilangsungkan, karena sama sekali tidak menarik.
Hal yang perlu pemikiran ulang adalah upaya memodifikasi parit-parit di belakang rumah-rumah di perkampungan Kampung Laut untuk dijadikan obyek wisata air seperti yang ada di Venesia (Italia). Problem lain adalah laju sedimentasi yang tinggi mengganggu aktivitas pasang surut dan tata air, tampaknya bukan suatu masalah yang ringan. Proyek-proyek dengan biaya besar untuk mengeruk Segara Anakan agar tidak dangkal tampaknya akan merupakan usaha yang sia-sia, kalau pola penggunaan atau pemanfaatan tanah di uplands masih tetap seperti sekarang. Erosi tanah akan tetap berlangsung, akibatnya hari ini Segara Anakan dikeruk besok sudah dangkal lagi karena lumpur dari atas masih tetap mengalir.
Masalah lain yang berkait dengan wisata air parit ini adalah pola hidup penduduk setempat yang masih belum memperhatikan kelestarian lingkungan. Padahal mengubah pola hidup yang sudah mengakar seperti itu, sungguh bukan pekerjaan yang mudah.
e. Wisata Budaya
Wisata budaya dalam hal ini dimaksudkan sebagai ujud wisata yang lain, yang lebih menekankan pada obyek penampilan alam. Dalam wisata budaya, tekanan perhatian wisatawan bukan terletak pada penampilan fisik obyek wisata yang indah atau unik, melainkan lebih pada makna yang terkandung pada obyek tersebut. Di sini wisatawan akan melakukan penghayatan batin sesuai dengan latar belakang budaya dan kepercayaan. Oleh karena itu pengertian wisata budaya di sini juga dapat disebut sebagai wisata spiritual. Di Kampung Laut dan sekitarnya obyek-obyek wisata semacam itu ada beberapa, tetapi umumnya belum di promosikan kepada khalayak ramai sebagai obyek wisata. Misalnya gua pertapaan yang terletak di daerah plawangan barat. Tokoh spiritual yang berada di sini menurut kepercayaan masyarakat setempat bernama Sawunggaling.
Tokoh spiritual yang lain yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai pelindung kawasan Kampung Laut dan warganya adalah yang dikenal sebagai Mbah Jaga Laut. Jaga Laut adalah salah seorang dari wiratamtama dari Mataram yang ditugaskan untuk menjaga keamanan Segara Anakan dari gangguan para bajak laut. Sebagian dari warga Kampung Laut mangaku sebagai keturunan dari tokoh ini. Bekas pakaiannya yang berupa Jubah keramat masih disimpan oleh salah seorang keturunannya. Di suatu tempat yang bernama Pasuruan dekat dengan Kampung Mutehan, Desa Ujungalang, terdapat tempat keramat yang dipercaya sebagai “Petilasan Mbah Jaga Laut”. Di petilasan ini orang sering melakukan ziarah dengan maksud memohon restu dari Mbah Jaga Laut agar yang dicita-citakan terkabul.
Tempat lain yang cukup terkenal di kawasan Kampung Laut dan sekitarnya, yang merupakan obyek wisata spiritual adalah gua Masigit Sela. Gua ini berada di tebing pegunungan Pulau Nusakambangan, yang secara geografis masih berada di wilayah Desa Ujungalang. Gua ala mini menurut penuturan seorang juru kuncinya yang bertempat tinggal di Kampung Mutehan, ditunggu oleh Sunan Kalijaga. Banyak wisatawan mengagumi keunikan gua ini disebut gua Masigit Sela, yang artinya Masjid Batu. Namun para peziarah yang datang, umumnya mempunyai maksud memperoleh restu dari penunggu gua, sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat terkabul.
Khususnya berkait dengan gua Masigit Sela ini, pada beberapa tahun ini telah muncul permasalahan yang berkait dengan pengelolaannya sebagai obyek wisata. Melihat banyaknya pengunjung yang datang ke gua ini, Pemerintah Kabupaten Cilacap kemudian memasukannya kedalam kekuasaan Dinas Pariwisata Daerah dan digolongkan sebagai salah satu sumber penghasilan pemerintah daerah setempat.
Permasalahan yang lain adalah yang datang dari warga masyarakat Kampung Laut. Mereka tidak peduli gua ini masuk wilayah administrasi desa mana, tetapi yang membuat mereka kurang senang adalah dimasukannya secara resmi gua ini sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan dimasukannya gua ini sebagai sumber pendapatan daerah, maka sekarang orang tidak bebas lagi masuk kedalam gua itu kecuali kalau membayar tiket tanda masuk. Menurut mereka, tempat ini adalah tempat keramat. Karena itu tidak sepantasnya orang harus membayar tiket tanda masuk.
Dengan dimasukannya gua Masigit Sela sebagai obyek wisata alam semata-mata, nilai kesakralannya dikhawatirkan akan hilang. Kalau nilai kesakralannya hilang, yang berarti yang Mbau Reksa gua ini tidak lagi mau berada disana, berarti juga orang Kampung Laut akan kehilangan pelindung spiritualnya. Dipandang dari sudut sosial dan budaya, ketercabutan suatu masyarakat dari sosial dan budayanya, akan dapat menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar dari kerugian yang diukur berdasar nilai finansial.
Dari uraian-uraian diatas, terlihat bahwa Kampung Laut dan Segara Anakan mempunyai potensi-potensi yang cukup prospektif untuk dikembangkan sebagi obyek wisata. Namun dibalik itu, terdapat juga permasalahan-permasalahan, yang tentunya memerlukan pemikiran yang seksama untuk memecahkannya.
Obyek Wisata di Kawasan Segara Anakan
Potensi obyek dan daya tarik wisata Segara Anakan yang dapat dikembangkan meliputi :
- Desa nelayan dan kehidupan masyarakat nelayan.
- Desa Pejagan atau Desa Ujungalang atau Mutean, merupakan desa nelayan yang berciri khas nelayan dan petani.
- Desa Bugel merupakan desa nelayan yang berciri murni dengan kehidupan masyarakat khas nelayan.
- Desa Muaradua merupakan desa nelayan yang berciri campuran antara nelayan, petani, peternak dan buruh.
- Suaka hutan Mangrove
Pulau-pulau endapan di dekat Desa Pejagan memiliki koleksi Mangrove jenis tropis yang engkap dengan satwa yang khas.
- Panorama Pantai Segara Anakan.
- Sepanjang pantai pasang surut Segara Anakan memiliki panorama hutan jati dan hutan Mangrove serta kelompok desa nelayan.
- Sepanjang pantai Nusakambangan dengan panorama hutan campuran, area tambak dan pertanian.
- Panorama selat Indralaya.
- Sepanjang Selat Indralaya terdapat panorama peralihan atau pertemuan air laut dan air tawar, peralihan gelombang laut besar dengan teluk yang tenang serta atraksi ikan pesut.
- Pangandaran dengan panorama pantai indah dapat dicapai dari laut, memiliki hutan konversi dengan suaka satwa langka.
Kegiatan wisata dapat dikembangkan pada obyek dan daya tarik wisata tersebut terutama wisata bahari. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan antara lain : kegiatan memancing, bersampan, olahraga dan permainan air, wisata miat khusus menelusuri hutan Mangrove (petualangan alam ), dan atraksi ikan pesut. Namun populasi ikan pesut saat ini telah menyusut.
Jika Segara Anakan dan Kampung Laut yang mempunyai daya tarik dikembangkan, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Tengah khususnya dan Indonesia pada umumnya bagi wisatawan domestik maupun manca negara.